PENGETAHUAN UNTUK KITA
Pengertian ‘Aqiqah
Pengertian ‘Aqiqah
Menurut bahasa ‘Aqiqah artinya :
memotong. Asalnya dinamakan ‘Aqiqah, karena dipotongnya leher binatang
dengan penyembelihan itu. Ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama
bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong
Ada pula yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu asalnya ialah : Rambut yang
terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu, rambut ini
disebut ‘aqiqah, karena ia mesti dicukur.
Aqiqah adalah
penyembelihan domba/kambing untuk bayi yang dilahirkan pada hari ke 7,
14, atau 21. Jumlahnya 2 ekor untuk bayi laki-laki dan 1 ekor untuk bayi
perempuan.
Dalil-dalil Pelaksanaan
Dari Samurah bin Jundab dia berkata :
Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang
pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan
dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah
bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan
bayi perempuan satu kambing.” [HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]
Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan
aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur
kepalanya dan diberi nama.” [HR Ahmad]
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia
berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran
bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.”
[Riwayat Bukhari]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin
menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan
untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.”
[HR Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad]
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah
SAW pernah ber ‘aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari
kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan
kotoran dari kepalanya (dicukur)”. [HR. Hakim, dalam AI-Mustadrak juz 4,
hal. 264]
Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW.
Dari Fatimah binti Muhammad ketika
melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah
rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat
timbangan rambutnya.” [HR Ahmad, Thabrani, dan al-Baihaqi]
Dari Abu Buraidah r.a.: Aqiqah itu
disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh
satunya. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Hukum Aqiqah Anak adalah sunnah (muakkad)
sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi′i dan
sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama
ahli fiqih (fuqaha).
Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii
dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah
adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak tergadai dengan aqiqahnya.
Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya)”. (HR
al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka
tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan dan bersihkan darinya
kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al Bukhari dan
Ashhabus Sunan)
Perkataan: “maka tumpahkan (penebus)
darinya darah sembelihan” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib,
karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa
di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka
silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang
hasan).
Perkataan: “ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti
layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban),
tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan
sakit. Imam Asy-Syafi’iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah
ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.
Buraidah berkata: Dahulu kami di masa
jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia
menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu.
Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing,
mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak
wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu
orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang
bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur
rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW
bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi”.[HR. Ibnu Hibban
dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan
para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan
hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat dengan
aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”.
(HR. al-Tirmidzi).
Namun demikian, apabila terlewat dan
tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada
hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau kapan saja ia
mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada
hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada
hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah
itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan
menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari
yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi SAW, yang
artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih
darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam
Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada
hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila
tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits
Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan aqiqah itu disembelih pada
hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.” (Hadits hasan
riwayat Al Baihaqiy)
Namun setelah tiga minggu masih tidak
mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena
pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh
satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga
melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari
ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun
bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam
kandungan ibunya.
Aqiqah adalah syari’at yang ditekan
kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan
hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa
menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan
berkata: Dan bila tidak diaqiqahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi
dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa menurut saya, wallahu ‘Alam.
SEMOGA BERMANFAAT